AKU DAN JEPANG ; MAHASISWA SEJARAH MENGORBIT CINTA DENGAN NEGERI MATAHARI TERBIT (Karya Lomba Menulis 2020)
- 1. Sejarahnya, berawal dari gambar Hitam-Putih
- 2. Duniaku, Serba Dua Dimensi
- 3. Pameran Mata Pelajaran Seni Budaya, Sudah Ditebak Aku Melukis Apa.
- 4. Bunkasai, Pokoknya Datang Saja.
- 5. Melek Saat Belajar Mata Kuliah Sejarah Asia Timur
- 6. Pertama Kali, Bercakap-Cakap Langsung Dengan Orang Jepang. Gugup, Banjir Keringat.
- 7. Dapat Nama Panggilan Baru
Sejarahnya, berawal dari gambar Hitam-Putih
Sejarah? Apa tidak lebih cocok pakai kata riwayat? Awal Mula? atau kronologi? Karena aku mahasiswa jurusan sejarah, pakai kata itu saja ya, he-he-he. Ini sih namanya perkenalan colongan, he-he-he. Jadi, kurang lebih 5 tahun lalu, berawal dari terkesimanya aku saat membaca komik Detective Conan. Aku mulai merambah menjadi penonton anime. Sebenarnya sedari kanak-kanak aku juga sering menonton kartun atau anime semacam Detective Conan di stasiun televisi Indosiar, RCTI, dan satu lagi SpaceToon. Namun, untuk Detective Conan saat masih kanak-kanak aku tidak begitu mengerti jalan ceritanya (pantas lah, untuk orang dewasa saja berat mengikuti jalan ceritanya, apalagi anak kecil). Hingga sampai kini, aku semakin tertarik dengan negara Jepang. Tak ayal kebanyakan insan di dunia ini tertarik dengan Jepang, berawal dari kesukaan membaca komik, atau yang paling awam itu karena terkena virus anime. Setuju kan? He-he-he.
Duniaku, Serba Dua Dimensi
Seperti yang aku tulis sebelumnya, hampir seratus persen orang di dunia ini tertarik dengan Jepang, berawal dari kesukaan membaca komik, atau yang paling awam itu karena terkena virus anime. Zaman makin berkembang, situs download anime semakin dipermudah dengan adanya aplikasi, mungkin sudah puluhan judul yg kulahap. Libur kuliah, atau kerja sampai saat ini aku selalu menghabiskan waktu di kamar kost, menonton anime yang sudah di download via WiFi di kampus atau membaca komik hasil buruanku di toko buku bekas. Maklum, budget tak seberapa. He-he-he. Oh iya, waktu masa kuliah dulu, kalau dosen tidak datang aku punya kebiasaan menggambar manga di buku catatanku (walaupun tidak jago sih), hasil belajar di stasiun televisi anak yang sekarang sudah hampir tidak ada (Uh, sedihnya) sambil sesekali memperhatikan tingkah kawan-kawanku. Aku orangnya kaku sih, susah berekspresi. Bahkan, aku bisa banyak dikenal karena pribadiku yang pendiam. Benarkah, rata-rata penggemar anime atau Jejepangan punya sifat seperti itu ya?
Pameran Mata Pelajaran Seni Budaya, Sudah Ditebak Aku Melukis Apa.
Jujur saja, semenjak kuliah aku baru empat kali pergi ke acara Jejepangan. Semenjak tahun 2017 di salah satu Universitas di Medan, tentu menyenangkan. Aku ketagihan, berburu foto dengan cosplay, lucunya temanku yang kuajak saat itu begitu ketakutan dan menjaga jarak dengan para cosplay, mereka tentu tak familiar dan menganggap cosplay sebagai perwujudan dan hobi yang aneh, he-he-he. Di Bunkasai aku bisa mencari pernak-pernik Jejepangan, kemudian berfoto yukata. Namun begitulah, ada saja cobaannya. Waktu itu, Bunkasai tepat diadakan satu hari sebelum keberangkatanku kuliah lapangan ke tempat yang penuh pengalaman baru, ke Jakarta. Persiapan matang, dan kondisi tubuh yang fit tentu dibutuhkan. Akhirnya, demi Bunkasai aku harus izin dengan kawan-kawanku untuk tidak ikut memasak bekal selama kami kuliah lapangan di Jakarta. Kedua, bertepatan saat orang tua dan adikku datang dari kampung halaman ke kost di Medan, belum lagi tugas di tempat kerja yang menumpuk di hari pelaksanaan Bunkasai tahun 2018. Ketiga dan keempat, saat perayaan ulang tahun sastra Jepang (Aotake), dan Bunkasai di salah satu kampus swasta di Medan, aku sempat bingung karena tak ada teman yang bisa diajak, terlebih lagi aku orang yang serba tak enakan, sempat nekat mau pergi sendiri di perjalanan yang menempuh waktu satu jam, tak masalah sih, tapi manusia mana yang mau fotoin aku dengan cosplay. Syukurlah, walau aral melintang semua bisa dilewati. Oh iya, saranku sama penjual pernak-pernik serba Jejepangan, apa tidak lebih baik menjual barang-barang kecil namun bermanfaat seperti tempat pensil, sampul buku, payung, alat tulis, sapu tangan dan sebagainya. Supaya bisa dijangkau, dan lebih bermanfaat sih. Maaf ya, supaya bisa berinovasi saja.
Bunkasai, Pokoknya Datang Saja.
Mata kuliah ini kudapat saat menginjak semester IV, terang saja aku yang biasanya mengantuk mendengar dosen lebih banyak bercerita, menjadi duduk tegak dengan saksama mendengar materi sejarah Asia Timur, apalagi saat dapat giliran presentasi kelompok, aku terkesan berani menyisipkan ornamen khas Jepang atau gambar-gambar tokoh anime. Teman- teman sekelas pasti sudah hafal itu! Singkat cerita setelah itu aku mulai membeli atau meminjam buku tentang Jepang. Ada yang bertema sejarah, novel, dan yang paling menarik dan patut dibaca adalah buku Shocking Japan yang ditulis oleh Junanto Herdiawan untuk mengetahui bagaimana pengalaman kehidupan orang Indonesia di Jepang, serta tradisi unik orang Jepang yang mana ia mengungkap ada persamaan budaya antara Jepang dan suku Jawa, yah! aku rasa juga begitu dari nama atau bahasa misalnya, he-he-he. Kalau buku kebalikannya yang masih membekas dalam ingatanku, dan tak kalah menariknya adalah buku milik Hisanori Kato yang berjudul Indonesia di Mata Orang Jepang, yang berisi tentang cerita inspiratif dan pengalaman lucu seorang profesor asal Jepang selama tinggal di Indonesia untuk mengungkapkan rasa rinduannya terhadap Indonesia, Ah! Sungguh mengangumkan.
Melek Saat Belajar Mata Kuliah Sejarah Asia Timur
Pagi itu, Februari 2017 di kampus santer terdengar kabar kalau ada pertukaran mahasiswa dari beberapa negara ke kampusku. Itu menjawab keherananku dalam beberapa waktu lalu, karena aku nampak beberapa bule yang wara-wiri di kampus. “Ada orang Jepang juga lho! namanya Takuya, ganteng pakai kacamata.” Celetuk teman sekelasku saat itu, darahku berdesir mendengarnya. Tapi mustahil juga untuk bertemu dengan orang Jepang itu, karena kudengar dia tidak belajar di Fakultas Ilmu Sosial, melainkan di jurusan Bahasa Indonesia, di Fakultas lain. Bak gayung bersambut, tak terduga dia ternyata belajar di Fakultas kami, mata kuliah Sejarah Asia Tenggara, katanya. Sekali dua kali hanya bertatap muka saja, aku belum berani menyapa. Kelihatan dia orang yang perfeksionis, langkah kakinya cepat-cepat sekali kalau berjalan.
“Put, berani tidak ngobrol sama orang Jepang itu. Kalau tidak sekarang kapan lagi? Mumpung lagi dekat.” ajak salah seorang kawan, awalnya aku ragu dan singkat cerita akhirnya kuberanikan diri, toh juga ada teman yang mendampingi. Bak seorang wartawan, aku menanyainya dengan menggunakan bahasa Jepang yang sedikit kuketahui, sampai kulihat raut mukanya menunjukkan ekspresi tidak mengerti karena bahasa Jepangku berantakan sekali. Malu sekali aku, sampai keringatku makin deras bercucuran. Lucunya, beberapa kali kutanyai pakai bahasa Jepangku yang seadanya, dia jawab pakai bahasa Indonesia, he-he-he namanya juga sama-sama belajar bahasa berbeda ya. Terakhir, aku salah bicara, padahal inginnya bilang “Totemu Shiawase Desu” karena senang bercakap-cakap sebentar dengan Junpei-San, tapi malah bilang “O Tesuu Kakete Sumimasen.” setelahnya dia jawab dengan bahasa Indonesia “Ha-ha-ha, enggak apa-apa.”. Tapi cocok juga sih. Ternyata Junpei-San ramah sekali, dan murah senyum. Ternyata, dia yang dimaksud Takuya oleh teman-temanku. Semoga bisa bertemu kembali di Oita Osaka ya, Fukata Junpei-san.
Pertama Kali, Bercakap-Cakap Langsung Dengan Orang Jepang. Gugup, Banjir Keringat.
Orang Indonesia percaya, kalau nama adalah doa, Namaku Putri Umami. Jangan-jangan? Padahal semasa kanak-kanak, aku selalu malu untuk mengungkap nama panjangku. “Namanya siapa dek?” “Kupanggil Umami saja ya.” Pinta seorang kakak kelas sewaktu SMP, “Jangan, aku tak suka dipanggil Umami. Lucu.” Jawabku kemudian, kalau sekarang nama itu seperti sebuah anugerah bagiku, walaupun kalau di Jepang mungkin artinya “enggak banget” ya, he-he-he. Sekarang, beberapa teman menjuluki aku sebagai "Wibu". alhasil aku dipanggil dengan sebutan Wibu oleh beberapa orang. Aku tak bermaksud membela diri, tapi jika dilihat dari kapasitasnya, aku belum memenuhi syarat untuk diberi label seperti itu. Jadi, tolong ya. Ha-ha-ha.
Dapat Nama Panggilan Baru
Orang Indonesia percaya, kalau nama adalah doa, Namaku Putri Umami. Jangan-jangan? Padahal semasa kanak-kanak, aku selalu malu untuk mengungkap nama panjangku. “Namanya siapa dek?” “Kupanggil Umami saja ya.” Pinta seorang kakak kelas sewaktu SMP, “Jangan, aku tak suka dipanggil Umami. Lucu.” Jawabku kemudian, kalau sekarang nama itu seperti sebuah anugerah bagiku, walaupun kalau di Jepang mungkin artinya “enggak banget” ya, he-he-he. Sekarang, beberapa teman menjuluki aku sebagai "Wibu". alhasil aku dipanggil dengan sebutan Wibu oleh beberapa orang. Aku tak bermaksud membela diri, tapi jika dilihat dari kapasitasnya, aku belum memenuhi syarat untuk diberi label seperti itu. Jadi, tolong ya. Ha-ha-ha.
Akhir cerita, begitulah ragam cerita, suka-duka selama aku menggeluti dunia Jejepangan. Yang baik diambil, yang buruknya jangan ditiru., he-he-he. Sekarang, untuk memenuhi resolusiku di tahun 2020, aku mulai belajar bahasa Jepang via grup Facebook, dan diajari langsung sama orang Jepang. Salut dan berterimakasih sekali sama Senseinya, bisa berbagi ilmu secara cuma-cuma kepada ratusan orang Indonesia yang pingin belajar Bahasa Jepang, mengingat biaya kursus juga tidak murah. Do’ain semoga lancar belajar dan komunikasi pakai bahasa Jepang ya! Aamiin.
Penulis: Putri Umami Siagian