Orang Jepang dan Media Sosial, Honne dan Tatemae (karya lomba menulis 2021)
Saat ini zaman sudah maju sekali akan teknologinya. Berbeda dari awal tahun 2000-an dulu, kini handphone bukan lagi benda eksklusif yang hanya bisa dimiliki kalangan tertentu. Kini orang-orang dari berbagai kalangan, mulai dari anak-anak hingga orang tua bisa memilikinya. Tiada hari tanpa main HP bahkan sampai ada ujaran yang mengatakan bahwa kebutuhan di zaman ini bukan lagi hanya sandang, pangan, dan papan tetapi bertambah menjadi sandang, pangan, papan, dan colokan.
Lalu, siapa orang yang tidak tahu media sosial di zaman teknologi maju seperti sekarang? Kebanyakan orang khususnya kaula muda pasti tahu dan bahkan menjadi pengguna setia berbagai jejaring media sosial mulai dari Facebook, Twitter, Instagram, Tiktok, dan lain sebagainya.
Tetapi, anak muda di tiap-tiap negara tidak selalu sama lho cara bemedia sosialnya. Bagaimana dengan anak muda di Indonesia dan Jepang? Sebenarnya kurang lebih sama saja, media sosial digunakan untuk berbagi momen dan cerita. Tetapi salah satu hal yang paling membedakan dari orang Jepang adalah keterbukaan terhadap ‘orang luar’ di akun media sosialnya. Bagaimana nih maksudnya? Semua informasi yang ada di artikel ini adalah hasil dari mengamati dan pengalaman pribadi penulis bergaul dengan orang Jepang, lho. Penasaran kan? Mari kita simak bersama di bagian yang selanjutnya!
Mendapat teman baru Nihonjin (orang Jepang)
Suatu hari di bulan Agustus tahun 2019, saya dan 6 orang teman lainnya yang merupakan mahasiswa jurusan Sastra Jepang ditunjuk oleh Ketua Program Studi untuk mendampingi 8 orang pelajar Jepang yang sedang mengikuti sebuah program short course di Bogor selama 1 minggu. Saya yang saat itu masih semester 4 dan merasa kemampuan Bahasa Jepangnya masih sangat cetek awalnya merasa tidak percaya diri untuk mengambil tanggung jawab ini, tetapi karena merasa tertantang akhirnya saya bersedia. Selain itu kesempatan seperti ini mungkin saja tidak akan datang untuk yang kedua kalinya. Singkat cerita datanglah hari di mana kami semua bertemu dengan para pelajar dari Jepang itu. Mereka terdiri dari 4 orang perempuan dan 4 orang laki-laki. Yang termuda kelas 1 SMA dan yang tertua adalah mahasiswa tingkat 2. Selama mereka di Bogor, kami melakukan banyak kegiatan dan pergi ke berbagai tempat bersama-sama. 2 hal yang paling mengesankan bagi saya saat itu adalah, pertama bisa Latihan menjadi interpreter, kedua bisa makan enak gratis di berbagai restoran ternama (hahaha).
Menjalankan Quest Mengajar Kebudayaan dan Diserbu di Media Sosial!?
Ada banyak tempat yang kami kunjungi selama program short course berlangsung. Misalnya ke pabrik salah satu minuman isotonik dari Jepang, belanja cemilan khas Indonesia di supermarket, mencicipi makanan khas Indonesia di berbagai restoran, dan lain-lain.
Singkat cerita ada hari di mana kami melakukan kunjungan ke sebuah Sekolah Dasar Negeri di Bogor untuk melakukan sebuah quest yaitu mengajar kebudayaan Jepang kepada siswa-siswi di sana. Kami yang mahasiswa Indonesia ikut hadir untuk menerjemahkan dan membantu mengkoordinir siswa-siswi SD yang ada sekitar 40 orang dalam 1 kelas. Hari itu sangat cerah dan bisa dibilang cukup panas. Saat baru datang kami disambut dengan sangat meriah oleh penampilan paskibra, angklung, tari tradisional, dan masih banyak lagi (serasa jadi artis, sampai terharu). Kehadiran orang Jepang di Sekolah Dasar ini sepertinya menjadi pemandangan baru yang sangat menarik bagi para siswa SD di sana, terlebih ada juga siswi Jepang yang semakin mencolok karena mengenakan pakaian tradisional Yukata. Saat quest mengajar yang cukup melelahkan sudah selesai dilaksanakan dan siswa-siswi Jepang ini keluar dari kelas, sontak mereka langsung diserbu oleh siswa-siswi SD yang mengajak foto bersama, bahkan ada banyak juga yang minta tanda tangan (dek mereka orang biasa lho, bukan artis! Segitu senangnya melihat orang asing ya kalian ini xD). Tidak sedikit juga yang meminta akun media sosial Instagram para siswa dari Jepang ini supaya bisa saling follow sehingga pertemuannya tidak berakhir di situ saja. Siswa-siswi SD itu bertanya kepada saya.
“Kak, akun ig kakak-kakak ini (siswa-siswi Jepang) apa???”
Tentu saja saya yang memang sudah saling follow lebih dulu dengan mereka tidak langsung memberikannya dan meminta izin terlebih dahulu. Sebab saat ini akun media sosial agaknya tidak jauh berbeda dari kontak pribadi yang di dalamnya terdapat fitur untuk saling berinteraksi dan memperoleh berbagai informasi pribadi.
「ええと、生徒たちは皆のインスタアカウントを知りたいって、いいんですか?」(“Anu, siswa-siswi ini katanya pengen tahu akun Instagram kalian… Boleh kah?”)
Para siswa Jepang tidak langsung menjawabnya dan terlihat berpikir dulu sejenak, sepertinya mereka cukup kelelahan karena quest mengajar tadi. Lalu akhirnya mereka menjawab tapi dengan tidak terlalu antusias dan kebingungan.
「いいよ」(“Boleh saja”)
Setelah mendapatkan persetujuan tersebut, saya yang saat itu juga sudah cukup kelelahan dan tidak bisa berpikir panjang akhirnya menganggap ekspresi keraguan yang ditunjukkan mereka tadi hanya sekedar ekspresi kelelahan. Lalu saya memberikan username Instagram para siswa dari Jepang itu. Setelah para siswa SD ini mem-follow akunnya, mereka langsung meminta followback. Tidak sampai di situ saja, kerepotan masih terus berlanjut. Masih banyak siswa-siswi SD yang belum kebagian foto bersama dengan para siswa dari Jepang ini. Padahal mereka sudah kelelahan sehabis mengajar, meskipun begitu mereka yang ramah tetap berusaha meladeni semuanya dengan senyuman. Waktu menunjukkan pukul 12.00 siang dan sudah saatnya kami istirahat makan siang lalu kembali ke hotel untuk melakukan evaluasi kegiatan. Dan di saat seperti itupun masih banyak yang ingin foto bersama dan minta tanda tangan. Saat itulah saya dan teman-teman mahasiswa Indonesia lainnya menjadi seperti bodyguard artis yang memberikan pemahaman kepada para siswa SD itu sambil ‘menarik pergi’ para siswa dari Jepang untuk naik ke bus. Dan dengan itu, berakhir sudah quest mengajar kebudayaan Jepang ini dengan sukses. Menurut para siswa dari Jepang, siswa-siswi SD di Indonesia sangat bersemangat dan mereka mengakui kobaran semangat itu memberikan energi serta semangat lebih saat menjalankan quest ini.
Honne dan Tatemae
Setelah selesai makan siang dan melakukan evaluasi kegiatan di hotel, kami beristirahat, berbincang-bincang dan saling bertukar pengalaman saat menjalankan quest mengajar tadi siang (karena kami terbagi menjadi 2 kelompok dan mengajar kelas dengan materi yang berbeda). Tiba-tiba ada satu pelajar Jepang, sebut saja namanya Hatori (nama disamarkan xD) yang nyeletuk soal followers Instagramnya yang ‘tiba-tiba’ bertambah belasan orang. Saya yang tadi memberikan username Instagram mereka pada para bocah SD tiba-tiba merasa tidak enak dan berkata (langsung saja dalam Bahasa Indonesia ya xD).
“Anu, kalau merepotkan gak di-followback juga gak apa-apa, lho”
“Eh jangan dong, mereka sudah follow saya… Saya juga harus melakukan hal yang sama, hehehe”
Deg, tiba-tiba teringat materi On (恩) dan Giri (義理) dari mata kuliah Pengantar Budaya Jepang yang saya tempuh semester lalu. On dan Giri adalah konsep sosio budaya di Jepang yang mengatur masyarakat secara psikologis agar berpikir dan bertindak sesuai dengan keinginan sesama, memahami hutang budi, dan membalas kebaikan meskipun kebaikan kecil sekalipun. Hatori sedang melakukan itu, dia benar-benar orang Jepang ya, pikir saya. Padahal bagi kita yang orang Indonesia, hal seperti itu ya dibawa selow saja, hehe.
Lalu ada juga kejadian di mana salah seorang siswi Jepang yang bernama Masako (nama samara lagi xD) tiba-tiba ditelepon dengan fitur video call Instagram oleh seorang siswi SD yang tadi bertemu. Padahal saat itu sedang evaluasi kegiatan! ☹ Namanya juga anak-anak, selain tidak tahu rangkaian kegiatan kami seperti apa, mereka juga belum paham privasi dan etika komunikasi. Kalau hanya sekedar komentar atau chat di DM masih mending, ini malah video call, tiba-tiba pula. Saya jadi tidak enak pada mereka. Meskipun begitu Masako tetap berusaha meladeni siswi itu sampai selesai dan untungnya tidak terlalu lama.
Tiba-tiba otak saya melakukan kilas balik dan berusaha mengamati dan memahami sesuatu. Akun instgram para siswa dari Jepang ini seluruhnya memiliki kesamaan. Pertama, followersnya tidak banyak (paling banyak hanya 400-an followers saja). Kedua, akunnya digembok tanpa terkecuali dan setelah terbuka isinya hanya momen-momen penting bersama teman-teman terdekat saja (tidak ada informasi/foto keluarga sama sekali). Hal itu membuktikan bahwa kebanyakan remaja Jepang cenderung menjaga privasinya dari orang luar yang benar-benar tidak ada kaitannya dengan hidup mereka. Lalu berbeda dengan kebanyakan remaja Indonesia, mereka juga bermain media sosial bukan untuk popularitas dan tidak menginginkan banyak followers.
Media sosial benar-benar hanya media untuk membagikan dan menyimpan momen-momen dalam hidup mereka dan hanya dibagikan untuk orang tertentu saja. Bahkan seringkali foto dan momen yang diunggahpun tidak menampilkan wajah secara jelas dan hanya berupa lanskap atau foto makanan.
Benar saja, setelah program short course ini selesai dan para siswa dari Jepang pulang ke negara asalnya saya merasa ada beberapa dari mereka yang membatasi interaksi followers di akun Instagramnya. Dugaan saya mereka menggunakan fitur restrict yang terdapat di Instagram sehingga ketika mereka mengunggah foto baru di feed Instagram, kita tidak dapat melihatnya di beranda kecuali kalau secara sengaja mengunjungi profilnya. Ada juga yang menyembunyikan Insta Story-nya. Waduh, saya sih tidak merasa tersinggung akan hal itu tapi tetap merasa tidak enak pada mereka (x’D). Lalu sempat juga terlintas di pikiran saya, mengapa harus merasa tidak enak di saat mereka sebelumnya sudah menyetujui username Instagramnya diberikan pada orang lain? Tentu saja jawabannya adalah honne (本音) dan tatemae (建前)!
Secara singkat honne dan tatemae adalah 2 wajah yang dimiliki oleh hampir seluruh masyarakat Jepang. Tapi ‘muka dua’ di sini tidak selalu bermakna negatif, lho ya! Melainkan demi terjalinnya hubungan yang tetap harmonis antar sesama dan menjaga perasaan orang lain meskipun mungkin perasaan dan kepentingan pribadi salah satu pihak akan menjadi ‘korbannya’. Honne adalah wajah atau perasaan yang sebenarnya tetapi disimpan rapat-tapat dalam hati sedangkan tatemae adalah wajah ‘bohong’ yang ditunjukkan kepada orang lain demi menjaga perasaannya. Dapat disimpulkan bahwa sikap para siswa Jepang yang memberikan username Instagramnya pada siswa-siswi di SD merupakan praktek ril dari sosio budaya Jepang yang satu ini. Di mana sebenarnya mungkin mereka merasa tidak mau dan keberatan memberikan privasi mereka tetapi di saat yang bersamaan tidak mau juga mengecewakan siswa-siswi SD yang sudah memberikan pengalaman baru bagi mereka.
Hal yang sebenarnya sederhana tetapi menjadi cukup rumit. Bergaul dan memahami orang Jepang bisa dibilang memang cukup rumit serta membutuhkan waktu. Kalau saja ada orang Jepang asli yang bertindak tidak sesuai dengan adat istiadat dan norma yang berlaku, maka kemungkinan besar akan dikucilkan (untungnya saya orang asing bagi mereka). Oleh karena itulah meskipun Jepang adalah negara yang dikenal aman dan maju, perundungan masih cukup marak terjadi di jenjang sekolah. Sebab ada peribahasa yang mengatakan bahwa “paku yang menonjol harus dipukul rata”, artinya yang berbeda harus dibuat sama. Hal ini tidak lain demi terciptanya kehidupan yang harmonis tetapi kekurangannya orang Jepang jadi tidak bisa secara bebas mengekspresikan diri mereka. Ternyata hal-hal baik yang ada di Negeri Sakura ini selalu ada plus dan minusnya juga, lho.
Tapi meskipun begitu, hubungan saya dengan teman-teman dari Jepang ini masih terjalin dengan baik kok. Kami memiliki grup di Line dan di sana kami masih lumayan sering berkomunikasi bahkan mereka pernah repot-repot mengirimkan video yang menceritakan life update selama pandemi di Jepang. Apa yang sudah saya lalui bersama mereka baik atau buruknya (dari saya pribadi) akan saya jadikan pelajaran untuk ke depannya.
Bagi kalian semua yang membaca cerita ini juga ada baiknya dijadikan pelajaran ya! Tidak semua orang Jepang terbuka dan berkenan mengutarakan apa yang ada di pikirannya secara blak-blakkan seperti kita yang orang Indonesia. Mereka bertindak-tanduk dengan sangat hati-hati dan selalu memikirkan perasaan orang lain. Oleh karena itu, kalau kalian punya teman orang Jepang, ada baiknya memikirkan perasaan mereka juga bahkan dalam hal sekecil apapun. Sebab mungkin saja hal yang sederhana sekalipun dapat menimbulkan kesan dan kenangan yang agaknya kurang mengenakkan nantinya.
Penulis : Queena Salma Adani