Mata Aeru Kara, Epilog untuk Awal Musim (karya lomba menulis 2021)
Keluarga Lintas Negara
Bagaimana jika dua budaya berbeda dipertemukan dalam satu atap? Eh, tunggu.. Bukan, ini bukan tentang pernikahan, hehe. Ini cerita tentang orang-orang berbeda negara yang berkumpul untuk belajar sambil mengabdi pada masyarakat. Istilahnya mungkin seperti ‘jumping into a new environment’.
Setelah dipikirkan lagi, bisa dibilang kami ini KKN lintas negara. Bagaimana tidak, mahasiswa dari tiga universitas di Jepang sekaligus bersama senseinya ikut bergabung dalam tim ini. Dan... ya, seperti KKN pada umumnya, dua belas hari ke depan kami ‘bekerja’ untuk desa ini. Tetapi kami juga harus ‘mempelajari sesuatu’ di desa ini, Bubulak, Bogor. Tujuh belas orang mahasiswa gabungan Indonesia dan Jepang ini ditempatkan di rumah tinggal yang sama (tapi tentu saja ada pemisahan berdasarkan gender kok), makan dengan menu yang sama, berkomunikasi, dan sederet aktivitas lain yang bisa mendatangkan culture shock, hehe. Maka perkenalkan, inilah kami, SUIJI-SLP Indonesia dari Tim Bubulak.
Pertanyaan Favorit: Karai?
“Karai?”
Sudahkah kusampaikan bahwa dua teman dan sensei harus makan masakan Ibu tuan rumah? Ya kawan, ini Bogor tanah Sunda yang terkenal dengan selera pedasnya. Tapi ternyata sensei kami sudah menjadi penggemar berat sambal terasi. Berbeda dengan beliau, teman baru kami bahkan harus diingatkan untuk mencicipi dulu telur balado yang dibuatkan Ibu rumah. Jika terlihat dahinya terlipat, cepat-cepatlah kami kompak bertanya, ‘karai?’. Dan begitulah yang terjadi setiap kami makan bersama. ‘Karai?’ menjadi pertanyaan favorit kami setelah menyodorkan makanan sambil menunggu ekspresi mereka hahaha.
Saat persiapan dulu, kami anak lokal diingatkan untuk berhati-hati memberikan makanan pedas pada teman baru kami. Sebabnya adalah mereka kadang akan tetap memakan makanan yang disuguhkan bagaimana pun rasanya dengan alasan menghargai. Aku sangat terkesan dengan hal ini. Kesan yang ditinggalkan sangat kuat ditambah dengan pengalaman makan bersama dengan mereka. Aku masih ingat. Kedua baru kami itu perhatian sekali. Sebelum memenuhi piring, mereka akan menyodorkan lauk dan sayur pada kami. Sangat peduli. Duh, rasanya kami yang jadi tamu. Tapi belum cukup sampai di situ. Jika belum selesai mengisi piring, kedua teman kami dan sensei akan bersabar menunggu untuk kemudian mengatupkan tangan bersama dan tersenyum, “Itadakimasu!”. Ah, meja makan kami selalu hangat baik nasi, lauk, maupun suasananya.
Belajar Hidup, Belajar Kehidupan
Pagi hari dengan ‘muka bantal’ yang tidak dipedulikan, Natsuko dan Saori rajin menyapa. Ohayou! Ini akhirnya menular dan kami juga bersemangat meneriakkan ‘ohayou!’ saat melihat para laki-laki dari rumah seberang datang untuk memulai kegiatan.
Hobi tim kami adalah jalan-jalan. Pagi. Siang. Sore. Ya, kami harus survey potensi desa untuk menentukan program utama yang akan kami lakukan. Akhirnya kami memilih aktivitas bertema kebersihan, pendidikan, dan ekonomi. Kami membuat tempat sampah dengan adik-adik PAUD, lalu sensei bercerita tentang Jepang yang memilah sampahnya menjadi lima kriteria. Kami belajar membuat yoghurt, peyek, dan manisan pala. Tim Bubulak ini juga mengunjungi SMP dan mengadakan seminar motivasi. Setiap sore menjadi waktu yang paling sibuk karena ada serbuan adik-adik kecil yang penasaran dengan kami. Apalagi ada dua kakak cantik yang mereka suka.
“Kak, Kak... Kak Natsuko mana?” Bahkan baru saja kami selesai makan siang kepala-kepala mungil mereka ramai berdesakan.
“Kak Natsuko! Kak Natsuko!” Seringkali belum mengganti baju sekolah, mereka sudah memanggil dengan membawa mainan.
“Mau main sama Kak Saori dong, Kak...” Satu waktu mereka request sendiri, ckckck.
Tapi berbeda dengan cara mereka memanggil sensei. Waktu itu, mereka berkumpul melihat sesuatu yang ditunjukkan sensei di layar tablet. Antusias, berdesakan, tertawa-tawa. “Kakek, kakek, ini aja...” Aku terheran-heran. Eh? Duh, polosnya bocah-bocah ini! Tapi karena sensei yang sangat hangat pada merekalah akhirnya anak-anak berani berinteraksi meski terhalang bahasa.
Natsuko terkenal, begitu juga Saori. Karena jalan-jalan kami juga bertujuan berbaur dengan masyarakat. Beberapa warga bisa heboh karena mengetahui ada orang Jepang masuk desa, sampai-sampai mengajak selfie. Sayangnya, hanya mereka dua anak Jepang itu yang jadi artis. Kami orang lokal ini diabaikan total padahal masih berstatus temannya.
Mempelajari sesuatu. Seiring berjalannya hari, aku mengerti maksudnya. Semakin paham ketika melihat teman-teman Jepang ikut berjongkok di belakang rumah, mencuci piring di pancuran ala gadis desa. Ya, kami dituntut mempelajari kehidupan, ikhlas belajar melalui aktivitas sehari-hari bersama warga. Satu kesempatan saat kami jajan es teh di warung, Natsuko bahkan diajarkan cara minum ala warga nusantara. Dibalik, ambil ujung runcingnya, digigit plastiknya, dan diisap. Tampaknya kesan mendalam dia rasakan karena dalam jurnal harian yang ditulisnya kulihat ada ilustrasi tentang es teh Indonesia hahaha.
Terima Kasih, Tolong Jangan Bersedih!
Suatu hari, siang yang terik ketika kami sedang berkumpul di rumah mahasiswa laki-laki, ada yang menangis. Gawat. Kami panik.
“Saori, Saori kenapa?” Selembut sutra, setipis angin. Kami bertanya dengan pelan.
Saori adalah senpai bagi Natsuko. Tahun 2019 menjadi kali keduanya datang ke Indonesia. Karena itulah posisinya dalam tim ini adalah salah satu pimpinan sekaligus jembatan komunikasi jika Natsuko mengalami kendala mengutarakan pendapatnya. Peran ini menjadi lebih berat bagi Saori karena dia merasa harus membantu Natsuko supaya berhasil beradaptasi dan terbiasa dengan program ini.
Setiap jam delapan malam kami mengadakan evaluasi. Tantangan terbesarnya yaitu berbicara dengan bahasa Inggris. Sering kali kendala bahasa menjadikan kami salah paham dalam diskusi. Tetapi setidak mahir apapun kami menurut orang lain, program ini adalah waktu yang tepat untuk belajar memberanikan diri berbicara! Begitu pula Saori yang terlihat sering membantu Natsuko memahami diskusi. Ah, tiba-tiba aku mengagumi Saori karena apa yang dia usahakan.
Dan benar saja, aku semakin kagum padanya. Siang yang lainnya, waktu kami tinggal di desa berakhir dan saatnya membereskan pakaian. Ketika kami semua masih membereskan barang, Saori melangkah ke kamar mandi lalu datang kembali bertanya.
“Bagaimana ya cara membersihkan lantai ini?” Dengan gerakan tangan seakan-akan menyikat lantai.
Ya, Saori sangat baik. Dia adalah SUIJI-ers sejati, berhasil mempelajari karakter penting dalam kehidupan manusia: bertanggung jawab. Saori, terima kasih ya sudah menginspirasi...
Perpisahan di Balik Liwetan
Warga desa selalu antusias menyambut mahasiswa, apalagi karena ada dua teman Jepang yang bergabung. Kami bahkan pernah diundang makan bersama ala liwetan. Ini juga menjadi salah satu ‘ujian kelulusan’ bagi teman-teman Jepang, hehehe. Bagaimana, siapkah menyuap nasi beserta lauknya dengan tangan?
Malam itu kedua kalinya kami liwetan bersama warga. Ini beda. Ada udang di balik batu, ada perpisahan di balik liwetan. Dari diskusi dengan perangkat desa, kami akhirnya mengadakan makan malam bersama sebagai penutup program ini.
Saori dan Natsuko lulus tanpa syarat! ^^
Epilog untuk Awal Musim
Jum’at selepas makan siang kami membereskan kamar dan menyelesaikan tugas terakhir dalam program ini, yaitu presentasi hasil di kampus. Beberapa hari kemudian, waktunya benar-benar berpisah. Hari itu bukanlah libur, kelas kuliah dan sesi praktikum di lapang maupun laboratorium kami berjalan seperti biasanya. Maka selepas kelas, sambil harap bercampur cemas, aku menunggu bis. Beberapa menit lagi jam satu siang, itu artinya mereka bisa saja sudah duduk rapi di dalam bis yang menuju Jakarta. Aku menghibur diri lebih awal, berbisik meyakinkan hatiku bahwa pasti sempat bertemu meskipun melambai dari luar bis. Atau jika memang mereka sudah pergi, biarlah kesempatan lain untuk bertemu tahun depan menjadi harapan yang kusimpan sebagai bekal dari program SUIJI. Biarlah ini, biarlah itu, semoga di lain waktu bisa begini, dan begitu. Tetapi semakin terdesak waktu, aku panik. Daripada mengharapkan bis, haruskah berlari-larian saja? Meskipun sebentar, aku ingin melambaikan perpisahan! Ah, ending cerita macam apa ini!
Saat pandanganku semakin mengabur karena air yang menggenang, kerumunan orang-orang di sekitarku berubah agak riuh seakan ada yang datang. Itu bis yang melambat. Penumpang turun, lalu kami naik. Aku tersenyum dan tertawa. Sepertinya belum pernah aku mensyukuri dan menangisi bis seperti hari ini. Saori dan Natsuko, aku datang!
Aku bersyukur masih menemukan mereka di lobi penginapan yang ramai. Beberapa anggota Tim Bubulak juga datang. Sampai jumpa! Kami melambaikan tangan sampai bis berbelok dan tidak terlihat lagi. Tiba-tiba aku dicekam rindu sore-sore bermain dengan anak-anak dan belajar hiragana. Aku masih mau makan bersama, mengucapkan ‘oyasumi’ pada Natsuko dan Saori. Tetapi rindu ini akan kuubah menjadi semangat untuk bisa berkuliah ke Negeri Sakura, menemui Natsuko dan Saori.
Ada yang bilang bahwa sebaiknya kita tidak bersedih karena program ini berakhir. Sebaliknya, harus ada senyuman karena ini semua terjadi dengan akhir yang indah. Natsuko, Saori, tunggu aku ya. Saat ini sedang masuk musim kerja keras bagiku, belajar dan belajar.
Penulis : Ummu Muwahidah