Menjadi Berani Lewat Event Je-Jepangan (Karya Lomba Menulis 2020)

lomba_2020Lomba Menulis, Semangat Pejuang Bahasa Jepang, ★kelas kita (クラスでの活動)

1. Bunkasai Lampung

Siapa yang tidak tahu dengan Jepang, setiap kita mendengar kata “Jepang” pasti yang terlintas dipikiran kita semua adalah anime, bunga sakura, kimono, makanan Jepang (takoyaki, ramen, sushi) dan festival kebudayaan atau bunkasai. Di antara semua yang berhubungan dengan dunia Je-jepangan saya lebih tertarik dengan festival kebudayaan jepang karena pada saat diadakan festival itu saya bisa mengenal Jepang lebih dalam tanpa harus ke jepang.

Awal mula saya mengikuti bunkasai dimulai pada saat saya duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA) kelas 1. Sebelumnya saya sama sekali tidak tahu kalau ada acara seperti itu di daerah tempat saya tinggal. Setelah saya msauk ke dalam sebuah komunitas belajar bahasa jepang yang bernama “Minna No Nihonggo” di Lampung saya mengetahui lebih banyak soal jepang termasuk acara bunkasai.

Saya tak mengira bahwa di Lampung kegiatan yang berkaitan dengan Jepang cukup banyak dan diminati oleh orang-orang di sana. Beberapa festival kebudayaan jepang yang ada di lampung pernah diadakan di Univerisitas Teknokrat dan SMA N 2 Bandar Lampung. Pengalaman saya yang paling berkesan jatuh pada saat saya mengikuti bunkasai di Universitas Teknokrat yang mana di sana saya pertama kalinya mengikuti acara bunkasai.

Bunkasai pertama yang saya ikuti di teknokrat dahulu sangat meriah dan banyak dikunjungi oleh mahasiswa dan orang umum. tak hanya itu, ternyata bunkasai saat itu sudah memasuki tahun ke-10 yang berarti festival ini sudah pernah diadakan pada tahun-tahun sebelumnya. Setelah mengetahui itu saya terkejut sekali dan berbicara dalam hati “waw ini bunkasai ke-10 ternyata, berarti event ini mah udah terkenal, pantas saja ramai dan meriah kenapa gua gak tau ya dari dulu” sambil heran dan ada rasa penyesalan dalam hati. Namun, saya bersyukur dapat datang ke acara tersebut.

Gambar 1 (Acara Bunkasai ke-10 di Teknokrat, Lampung)

Kedatangan saya ke acara bunkasai di teknokrat bukan seorang diri melainkan saya datang bersama komunitas atau grup belajar bahasa Jepang “Minna No Nihonggo” dan ikuti berpartisipasi dalam memeriahkan acara itu. Saya dan anggota grup menampilkan sebuah tarian yang bernama “Soran-Bushi” atau dikenal juga sebagai tarian nelayan karena gerakan-gerakan pada tarian ini sama dengan gerakan yang dilakukan nelayan di Jepang.

2. Tarian Soran Bushi

Belajar latihan menari “soran-bushi” kami lakukan di area sekitar tempat kami belajar bahasa Jepang dan tarian itu diajarkan langsung oleh orang Jepang yang saat itu menjadi darmasiswa yakni bernama Arana Ogawa dan Yuzu Okubo. Mereka berdua adalah orang yang mau mengajarkan kami latihan menari untuk ditampilkan di acara bunkasi teknokrat mereka berdua pula merupakan orang jepang pertama yang saya jumpai sekaligus teman orang jepang saya yang pertama.

Latihan demi latihan kami lakukan untuk mempersiapkan diri agar tampil dengan maksimal. Latihan tarian soran-bushi ini kami lakukan kurang lebih selama satu hingga dua bulan lamanya karena ternyata tarian ini cukup rumit dan memerlukan energi yang kuat serta bagi orang seperti saya yang bukan dari orang yang berlatar belakang seorang penari cukup kesulitan untuk mengingat setaip gerak dalam tarian tersebut. sampai pada waktunya tiba saya dan kawan-kawan grup bahasa jepang “Minna No Nihonggo” berhasil menampilkan tarian soran-bushi di acara bunkasai teknokrat.

Gambar 2 (Foto bersama Anggota “Minna No Nihonggo” setelah menampilkan tarian
soran-bushi)

Jujur saya bukanlah tipe orang yang berani tampil di depan umum apalagi tampil sambil menari, tapi saya sadar bahwa dengan saya maju bersama yang lain saya membuat suatu langkah yang benar untuk menumbuhkan keberanian pada diri saya dan membuktikan bahwa saya bisa serta menadapat pengalaman yang berbeda. Perjalanan saya mengarungi dunia bunkasai tidak berhenti di teknokrat saja, justru dari sana lah awal mula saya menjadi “bunkasai hunter” atau pemburu bunkasai atau pengunjung bunkasai. Adapun bunkasai yang pernah saya kunjungi ada bunkasai di SMA N 2 Bandar Lampung, Gelar Jepang UI, Ennichisai Blok M, Bunkasai USU dan yang paling berkesan setelah bunkasai yang pertama adalah bunkasai Aceh yang baru diadakan tahun lalu 2019.

3. Bunkasai Aceh

Bunkasai Aceh juga tidak kalah menarik dengan bunkasai yang ada di kota-kota lain. Pada kesempatan ini saya diberikan amanah yang lebih besar oleh ketua panitia bunkasai Aceh untuk menjadi salah satu ketua dalam lomba “Nihonggo Kakikata” atau ranking satu dan menjadi master of ceremony atau MC. Kedua hal ini benar-benar diluar bayangan saya selama mengikuti kegiatan kepanitian di suatu acara. Awalnya saya ragu apakah bisa menjalankan amanah dengan baik terutama menjadi seorang MC di acara besar seperti bunkasai yang juga dihadiri oleh orang umum, orang dinas pemerintahan di Aceh dan orang Jepang.

Keraguan saya muncul disebabkan saya sama sekali belum pernah menjadi seorang MC di suatu acara apapun selama hidup saya dan hal itu membuat saya gelisah karena melakukan hal yang benar-benar belum pernah saya lakukan sebelumnya ditambah lagi pembukaan dilakukan dengan menggunakan bahasa Jepang. Setelah dipercayakan menjadi MC yang saya lakukan adalah berusaha fokus merangkai kata-kata untuk membuka acara bunkasai dengan bahasa Jepang, menerjemahkan bahasa Indonesia yang akan saya gunakan pada saat pembukaan ke dalam bahasa Jepang dan latihan bersama seorang guru yang sudah paham akan dunia MC mulai dari intonasi, artikulasi hingga ekspresi saat menjadi MC di atas panggung.

Pada hari acara dimulai bermodalkan keyakinan diri, doa serta latihan saya dengan berani naik ke atas panggung dan membuka acara bunkasai Aceh dengan menggunakan bahasa Jepang hingga selesai. Pada saat di atas menjadi seorang MC selama beberapa menit terdapat hal yang diluar dugaan hal itu adalah saya harus menerjemahkan seorang pembicara (tamu) asal Jepang yang menyampaikan sepatah dua patah kata untuk membuka acara, saat itu saya menjadi gugup dan takut. Namun, alhamdulillah saya bisa menerjemahkan kata yang disampaikan dengan lancar.

Gambar 3 (Menjadi MC menggnakan Yukata dan menerjemahkan kata
bahasa Jepang ke bahasa Indonesia)

Sebenarnya ada hal lucu yang terjadi sebelum saya naik menjadi MC bunkasai dimana satu jam sebelum acara saya sakit perut, menahan untuk tidak makan pagi karena takut sakit perut muncul kembali, latihan yang hanya kali tiga saya lakukan sebelum hari acara dan pertama kalinya saya mengenakan Yukata.

4. Lomba Pidato Bahasa Jepang

Gambar 4 (Swafoto setelah mengikuti lomba pidato bahasa Jepang di Medan)

Berawal dari informasi yang ada di laman facebook, saya melihat bahwa ada kesempatan lomba pidato bahasa Jepang yang diselenggarakan oleh japan foundation untuk warga umum. Melihat informasi tersebut saya langsung membaca detail persyaratan untuk mengikuti lomba pidato dan seketika muncul keinginan untuk mengikuti lomba pidato bahasa Jepang lalu segera mendaftarkan diri di website yang disediakan oleh Japan foundation.

Saya mulai berfikir mengenai topik apa yang harus saya sampaikan pada pidato yang akan saya ikuti waktu itu sampai pada akhirnya karena cukup bingung saya meminta saran dari seorang teman yang bernama Fira Al-Haura beliau merupakan teman saya yang kuliah di jurusan sastra Jepang. Oleh karena itu, saya berpikir bahwa beliau dapat membantu saya untuk menemukan ide dalam menulis teks pidato. Benar saja setelah saya berkonsultasi dengan beliau saya mendapat sebuah ide bagus untuk menulis teks pidato yang saya beri judul “watashi no nihonggo no hajimari”.

watashi no nihonggo no hajimari” atau dalam bahasa Indonesia adalah “awal mula belajar bahasa Jepang ku” merupakan teks pidato yang saya bawakan pada lomba pidato bahasa Jepang di Medan Universitas Sumatera Utara yang ke-36. isi dari teks tersebut adalah pengalaman saya sendiri “penulis” dalam mengawali perjalanan saya mengenal dan belajar bahasa Jepang dari awal hingga sampai saat ini. Sama seperti kasus yang terjadi di bunkasai di atas, saya tidak yakin dan percaya diri dengan isi tulisan saya dan diri sendiri karena saya berpikir kalau tulisan saya sangat jelek dan tidak memiliki pesan penting yang bisa diambil oleh para penonton nantinya ditambah lagi lomba ini baru pertama kali saya ikuti. Pada saat itu saya merasa “apakah bisa saya berbicara dengan lancar menggunakan bahasa Jepang di depan umum?”, “apakah tulisan ini menarik nantinya?” dan “apakah saya bisa menang?” itu yang selalu menjadi pikiran saya.

Bosan dengan semua keraguan itu, saya berdoa dan yakin saja pada diri sendiri kalau diri ini mampu melewati dinding diri saya sendiri dan menggangap bahwa lomba pidato bahasa Jepang akan menjadi batu loncatan yang baik bagi saya untuk bisa berani melawan diri sendiri dan menjadikan diri saya selangkah lebih maju serta merubah pandangan saya tentang sebuah kompetisi yang awalnya saya berpikiran untuk menang dan menjadi pusat perhatian orang hingga menggangap bahwa sebuah lomba atau kompetisi merupakan suatu jalan dan kesempatan yang dapat memperbaiki saya menjadi seorang yang berani dan meruntuhkan dinding dingin yang bernama “ketakutan dan keraguan” menjadi “kekuatan”.

Penulis: Gamel Aga Sidik