Pengalaman Bekerja Serabutan di Jepang (karya lomba menulis 2022)
Sejak pertama kali menginjakan kaki di Jepang, 20 tahun yang lalu, saya sudah pernah menggeluti berbagai macam pekerjaan. Tentunya pekerjaan yang halal, walau mungkin tidak terlalu bergengsi.
1. Pramusaji di Hotel
Saya pernah bekerja paruh waktu sebagai pramusaji di restoran milik sebuah Business Hotel yang cabangnya ada di seluruh Jepang. Restoran tempat saya bekerja cuma melayani jam breakfast/sarapan para tamu hotel. Sistemnya prasmanan “All you can eat”, makan sepuasnya. Jam kerja antara jam 5 pagi sampai jam 12 siang (fleksibel sesuai kepentingan), karena jam makan pagi para tamu adalah 6:30-10:00. Jadi para staff harus datang lebih awal untuk mempersiapkan makanan dan minuman, serta membereskan semuanya setelah jam makan pagi. Di Hotel ini, staff asing cuma 3, yaitu saya dan 2 teman saya, semuanya orang Indonesia. Rekan-rekan kerja dan atasan baik sekali kepada kami. Khususnya waktu ada event Rugby World Cup di kota kami. Banyak sekali tamu dari Eropa dan Australia, cuma kami bertiga di restoran yang lancar bahasa Inggris. General Manager hotel dan restoran manager sangat berterima kasih kepada kami, rasanya senang sekali dihargai.
Kadang-kadang hotel tempat saya bekerja kedatangan tamu dari Indonesia juga. Selalu saya sapa pakai bahasa Indonesia, reaksi kaget bercampur senang. Biasanya mereka akan berkata “Wah, orang Jepang tapi bisa bahasa Indonesia ya?”. “Saya orang Jakarta kok” jawab saya sambil tertawa.
Setelah jam makan pagi selesai, restoran tutup. Para staff diperbolehkan makan makanan prasmanan yang masih ada, tapi tidak boleh dibawa pulang. Bahkan setelah para staff selesai makan kenyang, masih banyak sisanya yang dibuang. Bagi saya tidak enaknya kerja di hotel adalah membuang makanan. Karena tentu saja makanan tersebut tidak akan disajikan keesokan harinya. Sedangkan di dunia ini masih banyak sekali orang kelaparan.
Setiap 6 bulan sekali, para staff hotel (termasuk restoran juga) mendapat 2 lembar voucher hotel yang bisa dipakai di cabang hotel mana pun. Saya sudah pakai untuk menginap di Okinawa, Hokkaido, Yokohama, Matsumoto, dll. Beberapa teman Jepang saya yang tidak ada rencana untuk pergi kemana-mana, memberikan voucher mereka kepada saya. Lucky!
Kerja di hotel sangat ketat, karena penampilan, sikap, dan tutur bahasa kita mencerminkan image hotel tempat kita bekerja di mata tamu. Salah satu peraturannya adalah rambut tidak boleh dicat pirang, apalagi warna-warni. Seperti gambar dibawah ini, nomor 5,6,7 OK. Nomor 8,9 masih diperbolehkan, nomor 10 keatas tidak boleh.
2. Pramusaji di Ramen shop
Sehabis kerja di hotel, jam 11:30, saya langsung meluncur ke sebuah warung ramen untuk kerja paruh waktu kedua. Kira-kira 20 menit dengan berkendara mobil. Saya hanya bekerja 2-3 jam di warung ramen, sebagai staff extra untuk menangani jam makan siang yang biasanya sangat ramai pengunjung.
Saya bilang warung ramen karena tempatnya kecil untuk disebut restoran, hanya ada 6 meja dan 8 bangku counter. Pada jam makan siang, tempat duduknya selalu penuh, banyak yang harus menunggu diluar.
Tugas saya menyiapkan bumbu racik, menaruh topping seperti daging charsiu, nori/rumput laut, negi/daun bawang, dan membawakan ramen ke meja pelanggan.
Mangkuk ramen atau yang disebut donburi ukurannya besar, dan jika berisi ramen lumayan berat. Apalagi kalau ada yang pesan ukuran Oomori (porsi besar). Membawa ke meja pelanggan harus hati-hati sekali, karena kuah ramen sangat panas, jangan sampai jatuh mengenai pelanggan.
Ramen tempat saya bekerja buka 24 jam, bisa pilih mau kerja jam berapa saja pun boleh.
3. Guru bahasa Inggris dan Indonesia
Dari waktu ke waktu, saya mendapat permintaan untuk mengajar kelas bahasa Inggris untuk pemula di sebuah perusahaan otomotif. Dan juga untuk mengajar privat kelas intensif bahasa Indonesia untuk karyawan perusahaan Jepang yang akan dikirim ke Indonesia. Pertama kali mengajar agak tegang dan gugup, tetapi lama-lama terbiasa.
Rata-rata murid kelas bahasa Indonesia saya adalah orang-orang yang sudah pernah ke Indonesia 1-2 kali, jadi mereka sudah ada gambaran seperti apa negara tercinta kita, makanannya dan suasana Jakarta yang hiruk pikuk.
Mereka sering bertanya kepada saya cara untuk mengucapkan suatu kalimat.
Salah satu murid yang bisa berbahasa Inggris, bertanya perbandingan grammar/tata bahasa Indonesia dan Inggris.
4. Penterjemah di Sekolah menyetir forklift
Saya juga bekerja di sebuah driving school (sekolah menyetir) untuk kendaraan pekerjaan konstruksi, seperti forklift, crane, bulldozer, dll. Pekerjaan ini biasanya cuma ada sebulan sekali, yaitu pada saat ada kenshusei/pekerja magang dari Indonesia. Kenshusei tersebut akan ditugaskan menyetir forklift, dan hukum Jepang mewajibkan supir forklift untuk memiliki SIM forklift. Jika kedapatan mengoperasikan kendaraan konstruksi tanpa lisensi, pemilik perusahaan akan dikenai denda.
Pekerjaan ini sangat menyenangkan karena saya bisa bertemu sesama orang Indonesia dari berbagai wilayah di Jepang. Sekolah menyetir ini satu-satunya sekolahan yang menyediakan penerjemah berbagai bahasa: Indonesia, Vietnam, Thailand, Tagalog, Portugis, Spanyol, Inggris, Mandarin. Oleh karena itu banyak murid dari berbagai kota di Jepang yang datang ke sekolah tersebut. Para kenshusei dari Indonesia sangat sopan, baik, dan rata-rata bahasa Jepangnya sudah lumayan jago. Jadi saya tidak harus terus-menerus menerjemahkan.
Pekerjaan-pekerjaan tersebut saya kerjakan sebelum pandemi. Setelah pandemi, hotel berubah jadi hotelnya pasien covid19. Karena disaat puncak pandemi di Jepang, rumah sakit penuh, akhirnya hotel pun jadi RS.
Kelas tatap muka bahasa Indonesia dan Inggris menjadi kelas online.
Di hari-hari PPKM, jam buka warung ramen pun dibatasi, tidak bisa 24 jam lagi.
Semoga cerita-cerita saya diatas bisa membantu teman-teman yang ingin kerja di Jepang.
Penulis: Monika Sidharta