Komitmen & Konsistensi : Langkah Awal Menuju Prestasi
I. Awal Mula
Saat aku masih duduk di bangku SD aku sangat mengagumi Ayahku. Aku mengaguminya karena dia pernah pergi ke Amerika sewaktu masih muda. Awalnya, Ibuku yang memberitahuku bahwa Ayahku pernah pergi kesana, lalu Ayahku memperlihatkan fotonya sewaktu disana karena aku ini orangnya tidak mudah percaya. Terdapat banyak sekali foto namun, ada satu foto yang membuatku terheran karena berbeda dari foto yang lain. Foto itu menunjukkan Ayahku yang sedang berdiri di pinggir jalan sambil memegang tiang. Aku bertanya kepada Ayahku “Ini di Amerika ?” tanyaku kebingungan, Dia pun menjawab, “Bukan, yang ini beda, ini foto Ayah saat berada di Shinjuku”. Aku yang masih kebingungan bertanya lagi “Shinjuku? ini di China?” tanyaku sambil menunjuk fotonya. Ayahku menjawab “China? bukan, ini di Jepang” jawabnya sambil tertawa kecil. Aku semakin terkagum lagi karena dia juga pernah pergi ke Jepang. Sebelumnya aku sudah banyak bertanya tentang Amerika dan sudah cukup puas, kali ini, aku banyak sekali bertanya tentang Jepang, pertanyaan yang kutanyakan yaitu “Negara seperti apa itu?, Bagaimana kehidupan sehari-hari disana?, Orang-orangnya seperti apa?” dan sebagainya. Setelah mendengar jawabannya, aku menjadi sedikit tertarik untuk mempelajari Jepang. Ayahku pun memperlihatkan buku-buku bahasa Jepang yang pernah dia baca dan pelajari sebelum berangkat ke Jepang. Ayahku menyarankanku untuk membaca buku-buku tersebut. Aku selalu membacanya setiap hari di waktu kosongku sepulang sekolah.
II. Hilangnya Minatku terhadap Bahasa Jepang
Meskipun aku sering membacanya, aku sama sekali tidak paham, kecuali buku kamus. Karena kata-kata bahasa Jepang itu bisa dihafal sedangkan aku yang saat itu masih SD kesulitan untuk mempelajari tata bahasa dan huruf-hurufnya. Aku pun bertanya kepada Ayahku, tetapi dia tidak bisa menjawabnya karena dia sudah lama sekali tidak menggunakan bahasa Jepang dalam kesehariannya, sehingga dia menjadi lupa akan bahasa Jepang yang dulu pernah dipelajarinya. Aku menjadi putus asa karena itu, aku yang merasa tidak mampu untuk mempelajari bahasa Jepang pun memutuskan untuk berhenti mempelajarinya saat itu. Lalu aku berfokus untuk mempelajari bahasa Inggris karena kurasa bahasa Inggris ini tidak sesulit bahasa Jepang dan terpakai dalam kehidupan sehari-hari.
III. Munculnya Kembali Minatku terhadap Bahasa Jepang
Beberapa tahun kulalui, aku beranjak ke bangku SMP. Aku masih belum yakin untuk mempelajari bahasa Jepang kembali. Ketika aku duduk di bangku kelas 2 SMP, ada suatu hal yang cukup viral, apa itu? Itu merupakan sebuah nyanyian yang berasal dari Jepang, yaitu PPAP (Pen Pineapple Apple Pen). Teman-teman sekelasku gemar sekali menyanyikan lagu ini sambil memperagakan gerakannya yang absurd. Aku tertawa terbahak-bahak melihat tingkah laku mereka. Saat itu juga, salah satu temanku memperlihatkan video yang Daimaou Kosaka-san peragakan, temanku menanyakan tulisan Jepang yang muncul pada video tersebut dibaca apa? Tentu saja aku tidak tahu, meskipun dibawah tulisan tersebut tertulis jelas bahwa itu dibaca “Pen Pineapple Apple Pen”. Disinilah minatku mulai muncul, aku yang tidak mudah percaya akan suatu hal pun memutuskan untuk kembali mempelajari bahasa Jepang untuk memastikan bahwa tulisan Jepang pada video itu benar-benar dibaca “Pen Pineapple Apple Pen”. Sungguh suatu hal yang sepele, namun aku serius ingin mempelajarinya.
IV. Mempelajari Huruf Jepang
Di bangku SMP, aku sudah memiliki Handphone, yang memudahkanku dalam mengakses materi-materi bahasa Jepang di Internet. Tetapi, aku masih tetap sulit untuk mengerti tata bahasa, aku mulai memikirkan lagi tujuanku yaitu untuk membaca tulisan Jepang pada video PPAP, yang berarti mengharuskanku untuk mempelajari huruf Jepang. Aku mencari aplikasi untuk belajar huruf Jepang dan mulai menggunakannya. Aku mencoba mengingat huruf Hiragana terlebih dahulu sebelum Katakana. Waktu luangku kugunakan untuk mengingat huruf-huruf tersebut, namun aku tak kunjung ingat, yang benar-benar kuingat setelah mempelajarinya selama 3 hari hanyalah aiueo dan kakikukeko, untuk huruf yang lain, aku selalu keliru. Aku memutuskan untuk mempelajarinya juga disaat sedang bersekolah, tepatnya pada waktu istirahat. Teman-temanku selalu mengingatkanku untuk tidak terlalu serius, karena mereka tahu bahasa Jepang itu tidak mudah dan tujuanku juga tidak begitu penting. Namun aku sama sekali tidak mendengarkan mereka dan tetap fokus belajar. Setiap hari Aku selalu mencoba mengingat huruf-huruf yang benar-benar asing bagiku.
Setelah berminggu-minggu, akhirnya aku bisa mengingatnya, meskipun hanya Hiragana saja. Meski begitu, aku merasa senang karena aku sudah dekat dengan tujuan. Kulihatlah video PPAP kembali, dan mencoba memastikan bahwa tulisan yang tampil itu dibaca sama dengan tulisan latin. Setelah itu, aku pun sadar ternyata tulisan tersebut tetap tidak bisa kubaca, dikarenakan tulisan pada video tersebut ditulis oleh huruf Katakana, sedangkan aku hanya baru bisa membaca huruf Hiragana. aku tak merasa kecewa atau sedih, justru aku dapat mengambil hikmah bahwa dalam mengejar suatu tujuan, sedekat apapun kita dengan tujuan itu, jangan merasa senang dulu, karena kita tidak tahu tantangan apa yang menunggu kita didepan. Oleh karena itu, aku menjadi termotivasi untuk terus mempelajari bahasa Jepang. Berbeda dengan huruf Hiragana yang bisa kupelajari hingga berminggu-minggu, Katakana mampu kuingat hanya dalam waktu 3 hari, kumerasa agak kesal karena seharusnya aku mempelajari Katakana terlebih dahulu, jadi aku tidak perlu berlama-lama menghabiskan waktuku mempelajari huruf Hiragana. Meskipun aku kesal, kupercaya bahwa tidak ada hal yang sia-sia. Aku malah bersyukur karenatelah berhasil mempelajari Hiragana & Katakana.
V. Usaha Tidak Akan Mengkhianati Hasil
Setelah mempelajari huruf Kana, aku akhirnya bisa memastikan bahwa huruf Katakana pada video itu ternyata tidak dibaca sama dengan tulisan “Pen Pineapple Apple Pen”, melainkan ペンパイナッポーアッポーペン(penpainappōappōpen) yang merupakan外来語 (gairaigo) atau kata serapan dari bahasa Inggris. Bahasa Jepang memliki banyak sekali kata serapan dari bahasa asing, yaitu dari bahasa Belanda, Portugis, Jerman, Prancis, Italia, dan Inggris. Dengan adanya kata serapan, bahasa Jepang dan bahasa Inggris dapat kupelajari dalam waktu yang bersamaan. Mempelajari huruf Jepang sungguh hal yang cukup melelahkan, saat itu juga pikiranku penuh dengan huruf Kana, aku sungguh sangat pusing. Meskipun pusing dan lelah, aku menikmatinya karena aku merasa senang. Tujuanku yang sudah tercapai membuatku tidak memiliki tujuan, oleh karena itu, aku terus menggunakan huruf Kana yang telah kupelajari. Waktu luang di sekolah maupun di rumah, kugunakan untuk menulis kosakata dengan menggunakan huruf Kana.
VI. Hidup Ini Penuh dengan Kejutan
Dua tahun berlalu, aku pun beranjak ke bangku SMK. Tepat pada saat MPLS(Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah), terdapat pengenalan ekstrakulikuler, ternyata ada satu ekskul yang mewadahi para siswa yang memiliki minat dengan segala hal-hal berbau kejepangan, ekskul itu bernama NHK(Nihon Houkago no Kurabu) yang artinya “Klub Jepang Sepulang Sekolah”. Aku terkejut dan tidak menyangka bahwa di sekolah ini terdapat ekskul seperti ini, tetapi aku merasa senang karena bisa bergabung dengan orang-orang yang memiliki minat sama denganku. Setiap hari Rabu, aku selalu mengikuti ekskul ini. Kegiatan yang dilakukan oleh kami yaitu, belajar bahasa Jepang, menonton anime bersama, bermain games, dan kegiatan kebudayaan lainnya. Ekskul ini aktif mengikuti lomba yang diadakan oleh sekolah lain tiap tahunnya, lomba-lomba itu antara lain : Cerdas Cermat, Character Design, Kana Contest(Test tertulis bahasa Jepang), Roudoku(Membaca dalam bahasa Jepang), Speech Contest, dan lain-lain.
Karena teman-teman ekskulku tahu bahwa aku pernah mempelajari bahasa Jepang dan juga sudah bisa membaca huruf Kana, mereka menganjurkanku untuk mengikuti lomba Kana Contest. Tentu saja aku langsung menolaknya, karena aku tidak berani mengikuti lomba itu, aku takut kalah. Lagipula, aku belum pernah mengikuti lomba seperti itu sebelumnya. Lomba itu pun kukonsultasikan kepada Ayahku, Ayahku memberitahuku bahwa dalam suatu perlombaan, menang atau kalah itu sudah biasa, dan itu tidak begitu penting, yang terpenting adalah pengalamannya, misalnya nanti aku menang, anggap saja itu bonus, kalau kalah pun, tidak masalah, jadikan kegagalan itu sebuah pelajaran untuk kedepannya. Tetapi bukan berarti aku jadi bermalas-malasan karena kalah pun tidak apa-apa, aku harus tetap berjuang semampuku agar kelak aku tak menyesal meskipun gagal.
Akhirnya, kuputuskan mengikuti perlombaan tersebut, soalnya tidak begitu sulit, namun lumayan membingungkan karena pengetahuan dan kemampuanku akan bahasa Jepang yang masih kurang. Meski begitu, aku tetap percaya diri dalam mengerjakan soal. Setelah selesai, beberapa jam setelah perlombaan, diumumkanlah para pemenang, aku merasa tegang tidak karuan. Alhasil, namaku tidak disebut dalam pengumuman itu. Kecewa dan kesal, itulah yang kurasakan saat itu. Kedua pembawa acara dalam event itu berkata, “Untuk yang belum menang, jangan berkecil hati ya, ayo coba lagi tahun depan”, kata-kata itu memotivasiku untuk mengikuti perlombaan ini lagi pada tahun depan, setahun itu memang waktu yang cukup lama, tapi itu lebih dari cukup bagiku untuk mempersiapkannya lebih matang lagi.
VII. Menyerah adalah Kegagalan Terbesar
Tahun berikutnya, sekitar sebulan dari perlombaan, aku baru mulai mempelajari bahasa Jepang lagi. Karena sebenarnya, aku takut untuk mengikuti perlombaan itu lagi, karena rasa kecewa dan kekesalan akan kegagalan itu terus menghantuiku, aku pun berpikir untuk tidak lagi mengikuti perlombaan itu karena percuma saja, aku pasti akan kalah lagi, karena aku tidak belajar dari pengalaman sebelumnya. Tapi ketua ekskul saat itu merekomendasikanku untuk ikut kembali dalam perlombaan yang sama namun dengan tahun yang berbeda. Dia berkata, ilmu dan pengalamanku lebih banyak daripada anggota ekskul yang lain, mereka yakin kali ini aku pasti bisa memenangkannya. Karena itu, aku tersadar, jika mereka saja yakin bahwa aku bisa menang, mengapa aku sendiri tidak yakin pada diriku sendiri?. Dengan waktu yang seadanya, aku mempelajari kembali bahasa Jepang dengan giat.
Hingga tibalah saatnya aku menunjukkan hasil belajarku, kuikuti lagi perlombaan itu. Sebelum masuk ke ruangan, para peserta dikumpulkan di aula, peserta lain yang mengikuti lomba terlihat didampingi oleh pembimbingnya masing-masing sambil sibuk mempelajari bahasa Jepang, sedangkan pembimbingku dari ekskul tidak bisa hadir pada hari itu, hal tersebut cukup menurunkan semangatku. Aku sudah cukup pesimis akan lomba itu, Saat perlombaan akan dimulai, para peserta pun diarahkan dari aula ke ruangan masing-masing, mereka terlihat sangat percaya diri karena disemangati oleh pembimbing yang mendampinginya, aku hanya tersenyum melihat mereka karena aku yakin, tanpa pembimbing pun, aku tidak boleh kalah dalam perlombaan ini, aku hanya harus fokus mengerjakan soal dengan sungguh-sungguh.
Sama seperti sebelumnya, para peserta diberi waktu 2 jam untuk mengerjakan soal yang terbilang cukup banyak. Para peserta terlihat mampu menyelesaikannya dalam waktu 1 jam lebih, sedangkan aku benar-benar menggunakan seluruh waktu itu untuk menyelesaikannya dalam waktu 2 jam, karena aku kurang tidur pada malam sebelumnya, aku sempat tertidur 30 menit setelah 1 jam pertama berlalu, yang membuatku hanya memiliki waktu 30 menit lagi untuk menyelesaikan soal-soal yang belum terjawab, saat itu, para peserta yang sudah selesai diperkenankan untuk keluar ruangan, diruangan itu hanya tersisa aku dan 1 peserta lagi. Saat dia telah selesai, aku lumayan panik karena aku masih belum yakin akan 1 soal lagi, tanpa pikir panjang, aku langsung membulatkan tekad dan mengisi soal itu dengan penuh keyakinan. Setelah perlombaan selesai, karena aku terlihat sangat lelah, ketua ekskulku menyuruhku pulang. Dia bilang, biarkan dia yang menunggu pengumumannya. Aku pun pulang dengan rasa cemas akan hasil yang keluar nanti saat pengumuman.
Esok harinya di sekolah, temanku menyampaikan kabar dari ketua ekskulku, dia berkata “Maaf”. Aku yang mendengar itu langsung membalas “Tidak perlu meminta maaf, justru aku yang seharusnya meminta maaf karena masih saja tidak bisa memenangkan perlombaan itu.” Ternyata dia belum selesai bicara, dia melanjutkan perkataannya “Maaf, untuk piala, sertifikat, dan hadiah, sepertinya agak telat ”. Mendengar lanjutan perkataannya, aku merasa sangat terkejut, dan tidak bisa berkata apa-apa. Tersenyum dan bersyukur, itulah hal yang kubisa lakukan saat itu, aku sungguh bersyukur karena aku tidak menyerah pada waktu itu. Jika saja aku menyerah, mungkin aku tidak akan pernah tahu bahwa ternyata aku hanya selangkah lagi menuju keberhasilan aku pasti akan sangat menyesal karena itu.
Tidak ada jalan pintas menuju keberhasilan, keberhasilan tidak diukur dengan apa yang telah kita raih, namun dengan kegagalan yang kita lalui dan keberanian yang membuat kita tetap berjuang menghadapi tantangan yang bertubi-tubi.
Sekian pengalamanku, semoga bisa bermanfaat dan memotivasi para pembaca.
Penulis: Audi Syahzehan