AKU, HIJAB, DAN JEPANG (karya lomba menulis 2021)
Berkesempatan untuk menginjakkan kaki di negeri sakura mekar, Jepang merupakan impian bagi banyak orang, tidak terkecuali aku. Pada tahun 2019, alhamdulillah, aku bersama dengan empat orang temanku mendapatkan kesempatan itu, kami lolos seleksi program pertukaran pelajar selama satu tahun di suatu kampus di Prefektur Hiroshima, Jepang.
Selama tinggal di sana banyak sekali pengalaman-pengalaman yang tidak bisa aku lupakan. Tidak sedikit culture shock yang aku alami pada masa awal tinggal. Tetapi alhamdulillah sedikit demi sedikit aku dapat beradaptasi dengan lingkungan sekitar.
Culture shock yang aku alami diantaranya berkaitan dengan agama yang aku anut sampai saat ini, salah satunya hijab. Hijab bukanlah suatu hal yang asing di Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Tetapi, berbeda halnya dengan negara minoritas muslim seperti Jepang, tampaknya sebagian masyarakat di sana tidak umum dengan kain yang menutupi kepala tersebut.
1. Sebagian Masyarakat Jepang belum Mengetahui Hijab
Selama tinggal di Hiroshima, tidak jarang, ketika aku dan teman-temanku berjalan, beberapa orang di sana memperhatikan pakaian yang kami kenakan, khususnya hijab yang menutupi kepala kami. Lambat laun aku mengerti mengapa mereka seperti itu. Orang muslim, khususnya yang berhijab masih jarang ditemukan di daerah Hiroshima, berbeda dengan Tokyo dan Osaka. Oleh karena itu, tidak heran jika sebagian orang Hiroshima terutama kalangan lanjut usia dan anak-anak kecil akan menganggap hijab yang kami kenakan itu aneh.
Suatu ketika, kami sedang berada di supermarket, ada ibu-ibu yang mungkin usianya sekitar 50-60 tahun benar-benar memperhatikan kami dari ujung kepala hingga ujung kaki. Lalu, mereka pun pergi sambil berbisik, menyisakan rasa penasaran yang bisa kami lihat dari raut wajah mereka.
Ada juga cerita lucu ketika aku sedang bekerja paruh waktu sebagai kasir di suatu supermarket. Saat itu, ada seorang ibu ditemani seorang anak laki-laki menghampiri kasirku untuk dihitung belanjaannya. Selembar kertas yang mengisyaratkan bahwa aku menggunakan hijab karena aturan agama dalam bahasa Jepang telah ditempelkan di bagian depan kasirku. Namun, sepertinya anak laki-laki itu tidak mengindahkan tulisan tersebut dan dia mulai bertanya kepadaku dalam bahasa Jepang, “Kakak ninja, ya?”. Aku tertawa kecil lalu tersenyum seraya menjawab, “Bukan. Emang keliatannya kayak ninja, ya?”.
Ibunya hanya bisa tersenyum dan meminta maaf kepadaku, lalu berusaha menjelaskan kepada anaknya bahwa aku bukan ninja. Meski begitu, tampaknya anak tersebut memang sedang ingin bercanda, ia terus saja berkata, “Kakak ninja, ya?” hingga belanjaan selesai dihitung dan ibu tersebut menuntun anaknya menuju mesin pembayaran. Karena anak itu lucu dan sebenarnya aku bingung harus menjawab apa, akhirnya aku hanya tersenyum lalu berkata, “Terima kasih. Ditunggu kedatangannya lagi.”
Sebenarnya beberapa teman-teman orang Jepang di sana pun suka bertanya-tanya tentang hijab yang aku kenakan, misalnya, “Apakah tidak gerah memakai hijab di musim panas?”, “Apakah hijab selalu kamu pakai termasuk saat tidur?”, dan masih banyak lagi. Aku menjawabnya santai dan berusaha untuk sedikit menjelaskan bahwa hijab itu tidak serumit yang mereka bayangkan. Alhamdulillah, sedikit demi sedikit mereka pun mengerti.
2. Ditolak Kerja Paruh Waktu karena Hijab
Program pertukaran pelajar yang aku dan temanku ikuti tahun lalu merupakan program yang membebaskan biaya kuliah selama dua semester di sana dan memberi mahasiswanya beasiswa sebesar 30.000 yen per bulan. Beasiswa tersebut cukup untuk kami membayar uang sewa apartemen, dan sebagian uang listrik, air, dan sebagainya. Sehingga untuk menutupi kekurangan dan keperluan sehari-hari, kami perlu kerja paruh waktu atau arubaito.
Aku dan teman-temanku memiliki cerita yang beragam ketika mencari dan mendapatkan arubaito. Aku sempat ditolak dua kali di dua restoran dengan alasan hijabku. Hijab yang biasa aku pakai, yang tidak akan aku lepas meski hanya untuk bekerja tampaknya belum bisa diterima oleh mereka.
Restoran pertama lantas memohon maaf karena tidak bisa menerima lamaran pekerjaanku ketika mengetahui bahwa aku benar-benar tidak bisa melepas hijabku ketika bekerja dengan alasan kenyamanan pengunjung restoran. Meski begitu, setelah wawancara selesai, pewawancara—dengan sedikit rasa penasarannya karena baru pertama kali ada pelamar sepertiku—mulai menanyakan tentang hijab, agama, dan Indonesia. Lalu, kami pun larut dalam obrolan singkat tersebut hingga beberapa menit kemudian sekali lagi dia meminta maaf dan aku pun pamit keluar.
Meski sedikit kecewa aku pun kembali mencoba melamar arubaito ke sebuah restoran dekat tempat tinggalku. Dengan beberapa pertimbangan akhirnya mereka dapat menerimaku sebagai pekerjanya dengan syarat hijab boleh digunakan asal telinga tetap harus dikeluarkan dengan alasan yang sama, kenyamanan pengunjung restoran. Tetapi sebenarnya itu menjadi dilema bagiku. Beberapa saat kemudian aku pun memutuskan untuk lebih memilih mundur karena aku khawatir akan merasa tidak nyaman jika seperti itu. Aku dan pihak restoran tersebut pun saling meminta maaf dan aku pun pamit keluar.
Aku percaya bahwa sesuatu akan indah pada waktunya. Meski sedih, tetapi aku juga yakin akan ada tempat dimana aku dan hijabku bisa diterima seperti teman-temanku yang sudah lebih dulu diterima ditempat kerjanya masing-masing. Dan hal itu pun terjadi, akhirnya di sebuah tempat perbelanjaan, tempat ketiga aku melamar, dengan berbagai pertimbangan, aku diterima dan hijabku tidak perlu dilepas ketika bekerja. Tidak hanya itu, permintaanku mengambil sedikit waktu ketika bekerja untuk melaksanakan sholat pun mereka kabulkan. Di luar dugaan, mereka juga mempersilahkanku menggunakan ruang rapat untuk tempat sholat. Tidak sampai di sana, demi kenyamanan semua pihak termasuk aku dan para pengunjung, mereka juga mempersiapkan selembar kertas untuk ditempelkan di depan kasir yang bertuliskan penjelasan singkat mengapa aku menggunakan hijab.
3. Hijab dan USJ
Sebelum pulang ke Indonesia pada tahun 2020, aku dan teman-temanku menyempatkan untuk mengunjungi berbagai tempat wisata di Osaka termasuk Universal Studio Japan (USJ). Di sana kami menaiki berbagai wahana, seperti wahana yang ada di area Harry Potter, Minions, Doraemon, dan lain-lain. Ada kejadian yang menurutku unik, yaitu ketika mengantri untuk menaiki wahana di area Harry Potter. Kami yang mengenakan hijab diarahkan untuk keluar barisan. Sebenarnya kejanggalan sudah terasa dari awal kami bertemu dengan para staf wahana tersebut. Ketika mereka melihat kami, mereka bergegas mengirimkan pesan atau sinyal kepada staf lain.
Karena ini merupakan kali pertamaku mengunjungi USJ, aku bingung dengan apa yang sedang terjadi. Aku dan temanku pun tidak bisa menangkap pesan yang mereka sampaikan kepada staf lain. Beberapa menit kemudian datanglah seorang staf perempuan dengan sedikit berlari mengahampiri kami. Ternyata mereka menyiapkan klip untuk menjepit hijab dengan pakaian kami demi keamanan dan kenyamanan. Dengan sopan dan cermat mereka menjepitkan klip di hijab dan pakaian yang berfungsi untuk menjaga hijab agar tidak terbang dan tidak mengganggu jalannya wahana. Begitu pula pada wahana-wahana lainnya.
Aku sama sekali tidak merasa risih dengan adanya klip itu. Sebaliknya, aku benar-benar merasa aman selama klip terpasang apalagi ketika menaiki wahana ekstrem. Aku bisa menikmati wahana dan tidak perlu susah payah memperbaiki hijab atau khawatir hijab akan terlepas.
Pengalaman-pengalaman hijabku tersebut di atas tidak lantas membuatku kapok untuk menginjakkan kaki atau tinggal kembali di Jepang. Meski tidak mudah untuk tinggal di negeri minoritas muslim, aku merasa banyak juga hal yang patut disyukuri, salah satunya adalah cara mereka menghargaiku.
Penulis : Firda Zahratul Fuadah