Tidak [BELUM] pergi ke Jepang, tapi belajar bahasa Jepang. Kenapa tidak?

finalis_lomba_2020, lomba_2020, Oleh Ega ArisandiBudaya & Kehidupan, Lomba Menulis, Semangat Pejuang Bahasa Jepang, ★kelas kita (クラスでの活動)

Negara satu ini memang selalu menarik untuk di bahas. Inovasi teknologi yang maju, budaya yang unik, hingga sistem pendidikan yang sangat baik. Tidak heran banyak pelajar asing sangat mendambakan untuk bisa melanjutkan pendidikan di sini. Selain itu banyak juga pekerja yang ingin bekerja atau sekedar magang di negara ini untuk merasakan langsung bagaimana rasanya tinggal di Jepang. Dan aku, adalah salah satunya.

Kagum. Satu kata yang bisa menggambarkan semua pandanganku tentang Jepang. Awal tertarik belajar bahasa Jepang karena hal sepele sih. Hanya karena ingin tau arti dari satu bait lirik lagu. Tapi.. hei, kok menarik banget. Dari sini ada keinginan untuk bisa baca tulisan Jepang. Dan mulai lah aku menghafal 2 huruf dasar tulisan Jepang yaitu Hiragana dan Katakana. Hingga suatu hari tanpa sengaja aku melihat informasi yang menarik perhatianku, yaitu tentang Magang ke Jepang.

1. Memutuskan untuk ikut program magang

Melihat informasi yang kebetulan lewat di beranda sosmed, aku sangat tertarik dengan informasi ini. Akhirnya aku bertekad untuk mencoba kesempatan ini. Berbekal media aku cari informasi sebanyak-banyaknya mengenai Magang Jepang. Ketentuan, syarat, hingga kesan-kesan dan pengalaman dari para ex. Magang Jepang aku telusuri. Tahukah kalian saat itu aku merasa benar-benar ketinggalan zaman karena Program Magang ini sudah ada sejak dulu, dan banyak ex. Magang Jepang yang sudah sukses setelah kembali ke Indonesia.

Oke. Aku rasa informasi ini cukup meyakinkan. Akhirnya aku minta ijin orang tua. Awalnya, mereka tidak setuju. Maklum, karena aku anak perempuan, dan adik perempuanku yang bungsu masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Yah, mungkin berat untuk melepas anak kerja jauh, khawatir tidak ada yang menjaga kalau sakit, dan lain sebagainya. Tapi setelah aku jelaskan dan coba meyakinkan, akhirnya mereka ijinkan aku untuk mengikuti program ini.

2. Bismillah. Ittekimasu

Setelah memutuskan untuk ikut dan mendapat ijin dari orang tua, aku pun mulai bergerak. Belum puas dengan informasi dari internet, aku berencana mengunjungi Disnakertrans (Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi) Bandung. Berangkat dari Cimahi menuju Bandung, berdua dengan motor. Ya, hanya motor yang setia menemaniku kemana pun. Tanpa seorang teman, aku beranikan diri untuk bertanya secara langsung sendiri. Tempat pertama yang aku cari dari Maps tidak ku temukan. Putar balik beberapa kali, akhirnya ketemu BP3TKI (Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia).

Di sini cukup memuaskan karena bisa bertanya langsung di ruang konsultasi, orangnya juga ramah. Tapi ternyata yang aku cari bukan di sini. Ini adalah tempat penyaluran TKI. Bapak tersebut lalu menunjukkan lokasi Disnakertrans. Ya, lumayan juga jaraknya. Setelah itu aku langsung berangkat menuju lokasi.

Jarak beberapa meter dari jalan yang ku lalui, terlihat tulisan “Balai Pelatihan Disnakertrans”. Dalam hati berkata “alhamdulilah, ketemu juga”. Langsung putar balik menuju sebrang jalan, kemudian masuk dan bertanya pada satpam yang berjaga di depan. Ternyata lagi lagi ini bukan kantor Disnakertrans yang aku cari, tapi Balai Pelatihan untuk peserta yang akan berangkat kerja keluar negeri. Haha. Salah lokasi lagi. Tenang, ternyata Kantor Disnakertrans yang aku cari tidak terlalu jauh dari Balai Pelatihannya. Dan, sampailah aku di tujuan ^_^.

Sesampai di lokasi aku langsung masuk dan mendaftar terlebih dahulu di resepsionis. Sambil ngobrol, ada bapak-bapak petugas yang bertanya maksud kedatanganku. Ya aku bilang kalau aku ingin mencari informasi tentang Magang. Lalu, jawaban mengecewakan yang aku dapat. Beliau bilang IM Japan hanya untuk laki-laki. Eh? Nani? Segudang pertanyaan yang sudah ku siapkan, tak terungkapkan. Seperti belum PDKT tapi sudah di tolak. Ya, kira-kira begitulah rasanya. Yang tadinya semangat banget jadi langsung down. Haha. Baiklah, aku pun pulang.

3. Seminar LPK swasta

Selang beberapa waktu, aku pun mendapat panggilan untuk ikut seminar LPK Swasta (karena sebelumnya sudah mendaftar di beberapa LPK melalui online). Berangkat lagi dari Cimahi menuju Bandung sendiri (berdua sih, tapi sama motor seperi biasa :D). Sesampainya, hanya aku yang hadir. Loh? Apa terlalu cepat? Padahal sudah sesuai dengan jam yang diinformasikan. Oke, aku tunggu sebentar kemudian datang seorang laki-laki yang juga akan mengikuti seminar. Menunggu lagi, dan ternyata peserta seminar hanya 2 orang saja. Haha, di luar dugaan. Tapi baiklah, aku bisa bertanya secara jelas di sini. Magang melalui LPK swasta memang jelas perempuan bisa ikut Magang Jepang. Ada yang program 1 tahun dan program 3 tahun. Tapi, untuk mengikuti Magang melalui LPK Swasta membutuhkan biaya yang cukup besar. Lagi-lagi tidak bisa ikut jalur ini karena kendala biaya. Niatku ke Jepang selain karena mengagumi Jepang, aku juga ingin membantu orang tua. Tapi kalau ternyata jalur ini malah membebani orang tua, aku tidak ingin memaksakan diri. Menyerah? Belum. Aku masih pertimbangkan jalan lain.

4. Tes Seleksi IM Japan di Bekasi

Setelah itu aku masih mencari informasi lain dan ketemu lah situs Depnaker yang mengumumkan IM Japan yang akan mengadakan tes seleksi di Bekasi. Dari syarat-syarat yang tertera, perempuan bisa ikut dan aku masuk dalam kriteria. Agak bingung dan kesel sih awalnya kenapa di web perempuan bisa ikut IM Japan, sedangkan saat aku bertanya langsung di Disnakertrans jawabannya beda. Akhirnya aku daftar online dan menunggu pengumuman di website.

Beberapa hari kemudian ada pengumuman bahwa Tes Seleksi akan diadakan di Bekasi, mulai dari Senin, 21 Januari 2019 sampai hari Kamis, 24 Januari 2019. Dalam pengumuman juga dijelaskan untuk mempersiapkan dokumen- dokumen yang diperlukan dan datang hari Minggu, 20 Januari 2019 untuk melakukan registrasi ulang. Aku pun bergegas melengkapi dokumen- dokumen yang dibutuhkan. Mulai dari minta surat ijin dan rekomendasi dari RT, RW, dan Kelurahan setempat. Semua aku eksekusi sendiri (maklum ya, jomblo apa-apa pasti sendiri, haah nasib).

5. H-3 seleksi

Jum’at, 22 Januari 2019. Pagi-pagi aku sudah bersiap untuk pergi mengurus berkas penting SKCK. Alhamdulillah, akhirnya tinggal 1 berkas lagi dan setelah itu akan lengkap dokumennya. Oh iya, kali ini aku tidak sendiri. Aku diantar oleh seorang laki-laki yang sangat mencintaiku sepenuh hati. Ya, siapa lagi kalau bukan ayahku.

Sekitar 20 menit dari rumah akhirnya sampai di Polres Bandung. Aku masuk, menyerahkan persyaratan pembuatan SKCK, melakukan sidik jari, kemudian mengantri. Tak lama kemudian namaku dipanggil. Bergegas menuju pengurus. Tapi…

Lagi-lagi semangat tadi tiba- tiba down. Petugas nya bilang “Maaf, ini tidak bisa diproses di sini. Karena KTP-nya Jember, jadi untuk pembuatan SKCK harus diproses di Jember”. DEG. Kaget. Bingung. Kesal iya. Pengen nangis rasanya. Gimana nih. Di H-3 ini tidak bisa mengurus SKCK dengan jarak Bandung – Jember yang butuh waktu 19 jam waktu tempuh dengan kereta. Akhirnya pulang dengan tangan kosong.

6. Cukup. Aku berhenti

Sampai sini frustasi? Ya, lumayan. Mengingat dalam beberapa hari itu aku sudah berusaha dan pergi ke beberapa tempat untuk mencari informasi, naik motor sendiri dengan jarak tempuh 1-2 jam dari rumah, bolak balik melengkapi berkas, cetak foto, minta surat rekomendasi, surat ijin orang tua pun sudah ditandatangani di atas materai, dan hasilnya nihil. Bahkan aku belum sempat merasakan ikut seleksi. Berdo’a sudah pasti. Tapi yang aku tahu Allah pasti kasih jalan yang terbaik.

Lalu apa? Ya. Aku pasrah saat itu. Aku hanya berharap yang terbaik dan tetap berpikir positif. Apa dengan kegagalan itu mimpiku untuk bisa ke Jepang sudah pupus? Hmm, tidak semudah itu move on dari negeri Sakura ini. Aku pikir aku masih ingin punya cerita lain kelak, wkwk.

7. Berhenti bukan berarti menyerah

Berhenti di satu jalan, bukan berarti sudah tidak ada jalan lain ya. Aku tidak menyesal dengan semua itu. Setidaknya aku tidak kalah sebelum memulai. Meski usahaku masih di angka nol, tapi aku sudah berusaha mengambil kesempatan yang ada semampu dan sebisa ku.

Dan inilah yang sangat aku syukuri saat ini. Masuk ke sebuah grup belajar bahasa Jepang yang ramah dan terorganisir. Aku sudah menjadi anggota sebelum memulai perjuangan itu, hehe. Aku bersyukur dari grup wkwkjapan ini, aku bisa kenal duo sensee yang baik. Dari sini juga aku bisa kenal dan bertemu teman-teman baru yang punya hobi sama dan kekaguman yang sama terhadap Jepang. Oh iya, ini waktu aku dan beberapa member grup akhirnya bisa bertemu secara langsung di Jakarta, dan karena duo sensee dan moderator kita tidak hadir jadi diwakilkan oleh gambar saja, wkwk.

Mungkin kalau aku ikut seleksi dan lolos, aku tidak akan pernah kenal sensee dan teman-teman disini. Mungkin kalau aku berhenti dan menyerah belajar bahasa Jepang saat itu, aku juga tidak akan bisa punya kesempatan lagi di lain waktu. Mungkin kalau aku tidak berani mencoba di awal, aku tidak akan pernah tau apa-apa dan tidak punya pengalaman. Mungkin kalau aku tidak meneruskan belajar bahasa Jepang di grup ini, aku tidak akan pernah menulis artikel Tokyo Camii yang membuatku bisa mengenal seorang teman muslim Jepang berinisial TK di Osaka yang sangat baik dan banyak membantu, juga menyemangatiku. Wkwk.

Bersyukur, bukan berarti menerima tanpa melakukan usaha apa-apa ya. Tetap coba dan berusaha semampu kamu, dan jangan lupa untuk selalu berdo’a yang terbaik.

Itulah sedikit pengalamanku yang juga punya mimpi untuk bisa pergi ke Jepang. Jangan pernah patah semangat hanya karena gagal di satu jalan. Karena pepatah mengatakan “banyak jalan menuju Roma” (dalam konteks ini, banyak jalan menuju Jepang yaa, hehe). Dengan belajar bahasa Jepang meskipun kamu tidak pergi ke Jepang, setidaknya kalau kamu bisa bahasa Jepang, akan ada banyak peluang untuk kesana, bisa punya teman orang Jepang yang pastinya akan menambah wawasan kamu tentang Jepang. Atau minimal kalau suatu saat ada kesempatan ke sana, kamu sudah tidak perlu translator lagi, wkwk. Semoga bermanfaat dan tetap semangat belajar ya!

Penulis: Ega Arisandi