DI PONDOK AKU DAN JEJEPANGAN (karya lomba menulis 2023)
Beda Bahasa
Biasanya,pondok pesantren itu identik dengan bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa Arab. Tapi tidak untuk pondokku, lebih tepatnya diriku sendiri. Di pondok tempatku nyantri, ada yang namanya belajar Bahasa Jepang, meskipun tidak secara umum, melainkan secara privasi. Semua berawal saat aku menginjak masa kelas 2 MTs di pondok. Waktu itu aku mengikuti kelas tambahan bahasa Inggris setiap siang. Di pertengahan pelajaran, guru bahasa Inggrisku menyodorkan padaku dan santri-santri yang ikut sebuah kertas kecil. Di dalam kertas itu,terdapat sebuah percakapan. Awalnya aku tidak tahu itu percakapan bahasa apa? Tapi, guruku akhirnya menjelaskan kalau itu adalah percakapan Bahasa Jepang.
Saat guruku membacakannya, aku seketika takjub dan mulai memiliki niat untuk mempelajari Bahasa Jepang. Dan lagipula, waktu aku masih suka-sukanya dengan serial Jepang yang namanya “Tokusatsu”.
Setahun pun telah berlalu, aku pun yang awalnya nyantri di 27 ilir ,jadi pindah ke Kenten Laut saat naik kelas 3 MTs. Waktu itu, isi kepalaku masih berisikan yang namanya Jepang. Karena gelisah, jadinya saat KBM mulai aku pun langsung menemui guru bahasa Inggrisku untuk diajari lagi bahasa Jepang. Dan untungnya, guruku setuju mau mengajariku setiap siang bila ada waktu.
Perjuanganku dalam belajar bahasa Jepang cukup membuatku kesulitan konsentrasi. Mulai dari kedatangan santri-santri yang kepo, orang-orang yang suka ngehujat, dan datangnya para pendatang baru yang ikut belajar, dan mereka rata-rata adik kelasku. Dan karena mereka juga yang membuatku menjadi suka terhadap serial yang namanya “Anime”, dorama-dorama Jepang, dan sejenisnya. Dan hingga sekarang, hal-hal seperti itu tidak lepas dari kehidupanku sampai-sampai sebuah panggilan untukku adalah”Wibu”.
Tetap Bertahan
Bagi orang yang menyukai yang namanya Jepang, kebiasaan orang-orang Indonesia adalah memberi mereka julukan “wibu”, dan aku salah satunya. Padahal, apa salahnya menyukai apa-apa yang ada di Jepang. Ya... mungkin salahku juga karena terlalu mencolok. Sebab, aku kebiasaan pake kata ”nani” ah, ”nande” lah, dan logat-logat Jepang lainnya.
Tapi ya... mau bagaimana lagi, sudah jadi kebiasaan, bahkan rasa-rasanya sudah menjadi darah daging malahan. Meskipun begitu, aku harus tetap bertahan, sebab aku sudah membulatkan tekad untuk kuliah di negeri sakura sana. Walaupun pernah tumbang berkali-kali, aku harus tetap bangkit dan semangat untuk menacapai tujuanku.
Kesimpulannya adalah, kita harus belajar mati-matian demi apa yang kita inginkan. Meskipun kurangnya media pembelajaran, sulitnya memahami, dan munculnya hujatan. Tapi semua itu dapat dilalui dengan kesabaran,kerja keras, dan jangan lupa untuk berdoa.
Penulis: Zikru Jamil